Kolom  

Ganjar Pranowo Si Angsa Hitam di Pilpres 2024 yang Mirip Jokowi

Ganjar Pranowo Si Angsa Hitam di Pilpres 2024 yang Mirip Jokowi
Ganjar Pranowo Si Angsa Hitam di Pilpres 2024 yang Mirip Jokowi

DEJAVANEWS.COM – Beberapa waktu lalu, saya mendengarkan curhatan politik panjang lebar dari seorang kawan mengenai perubahan sikap politiknya pada Joko Widodo.

Dulu, sejak awal Jokowi jadi presiden, kawan saya tersebut kurang terlalu bersimpati kepada Jokowi alias kurang suka.

Sebab utamanya, pertama, karena kawan saya itu memang apolitik. Kami sama dalam hal ini.

Kedua, kita berangkat dari asumsi dasar yang sama bahwa secara pribadi, Jokowi adalah orang baik.

Posisinya di dalam konstelasi elite politik adalah faktor yang membuatnya terkesan kurang fungsional atas janji-janji kampanyenya.

Pendeknya, secara politik, kedua faktor tersebut membuat kawan saya kurang tertarik kepada Jokowi pada mulanya.

Tapi belakangan, kawan saya melebarkan perspektifnya melampaui urusan personal.

Secara keseluruhan, dari urusan personal sampai pada urusan kepemimpinan, Jokowi terbilang paling baik.

Kira-kira begitu kesimpulan kawan saya itu. Ia mencoba memaklumi apa saja yang menghalanginya selama ini untuk kurang suka pada Jokowi.

Sehingga hasil akhirnya, kini Jokowi adalah presiden yang justru ia sukai.

Mengapa bisa demikian? Setelah saya cerna alur ceritanya, saya menyimpulkan bahwa penyebab perubahan pandangan politik kawan saya adalah karena (pertama) Jokowi memang tidak membuat prestasi gila-gilaan.

Namun (kedua), yang lain juga sama, bahkan lebih parah dibanding Jokowi alias tidak berbuat apa-apa.

Artinya, memang tidak ada yang terbukti bisa lebih baik dari Jokowi selama ini, baik dari politisi jajaran pendukungnya ataupun pembencinya.

Baca Juga  Baku Hantam Hipmi di Solo Menampar Wajah Jokowi

Nah, dengan kontruksi berpikir yang sama kawan saya memutuskan untuk menyukai Ganjar Pranowo.

Selain karena Ganjar Pranowo adalah gubernur di daerah asalnya, penyebab utamanya, menurut kawan saya, adalah karena elite-elite politik yang namanya masuk radar pilpres nanti justru tak berperilaku dan berbuat lebih baik dibanding Ganjar.

Bahkan sebagian menyerangnya, padahal Ganjar Pranowo tidak pernah promo gila-gilaan layaknya calon kompetitornya.

Saya kira, inilah yang disebut keberuntungan politik, yang telah membawa Jokowi menjadi presiden Indonesia dan Ganjar menjadi disukai banyak orang hari ini.

Selain modal keberuntungan politik, ada dorongan ketidakberuntungan politik yang menguatkannya, yakni ketidakberuntungan lawan politik. Itulah yang dialami oleh Prabowo Subianto.

Masa lalu Prabowo yang susah lepas dari Orde Baru, membuat semangat “asal jangan Prabowo” berkembang biak cukup masif di pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019 yang menjadi bensin penolong naiknya elektabilitas Jokowi.

Dan ketidakberuntungan tersebut boleh jadi akan dialami oleh lawan-lawan Ganjar nantinya tanpa mereka sadari.

Sikap politik Ganjar yang memilih “lebih banyak diam” dan bersikap semoderat mungkin ketimbang berisik dan grasa-grusu, yang rentan salah jalan dan terjatuh.

Bahkan diamnya Ganjar boleh jadi bermakna “terzalimi,” layaknya SBY tahun 2004.

Apalagi kalau kita tarik ke belakang. Bagaimana jadinya konstelasi pemilihan presiden tahun 2014 jika Anas Urbaningrum tidak tersangkut kasus Wisma Atlet.

Baca Juga  Bijak Pakai Plastik untuk Selamatkan Bumi

Di eranya, Anas adalah politisi muda dengan kemampuan organisasi yang tak perlu diragukan lagi.

Dengan jurus diam, Anas menyingkirkan Andi Malaranggeng dalam pertarungan ketua umum Partai Demokrat.

Padahal Andi sudah jor-joran pasang baliho besar-besar se-Jakarta kala itu, plus teknik-teknik kehumasan yang pernah digunakan untuk memenangkan SBY.

Sementara Anas bermain di luar radar publik. Ketimbang menyempit-nyempitkan ruang publik dengan iklan, Anas memilih cara konvensional ala aktifis lapangan.

Kontak dan lobby-lobby langsung membawa Anas terpilih dengan suara mutlak terbanyak di pertarungan ketua umum Partai Demokrat kala itu.

Dan dengan raihan suara Partai Demokrat pada pemilihan terakhir (2009) yang mayoritas, Anas, tak bisa tidak, secara persepsional adalah calon penerus SBY, sebelum anak kandung SBY mapan secara politik.

Alias Anas akan meneruskan kepemimpinan SBY, sementara waktu sekaligus menjadi mentor bagi anak SBY yang akan secara genealogis politik menggantikannya.

Tapi nyatanya keberuntungan Anas berakhir dan berganti dengan ketidakberuntungan. Sejarah tak berjalan sesuai rencana manis Anas.

Karena memang sejarah tak selamanya berjalan sesuai prediksi para surveyor politik.

Meminjam istilah Nassim Nicholas Talep dalam buku tenarnya “Black Swan”, walaupun sejarah mengajarkan bahwa angsa rerata berwarna putih, tidak berarti suatu waktu tidak akan muncul angsa berwarna hitam.

Baca Juga  Penangkaran Satwa Liar, Solusi atau Eksploitasi Berkedok Konservasi?

Tak ada yang mengira bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1996 yang 7,8 persen akan berakhir krisis di tahun 1997.

Ke mana para ekonom kala itu? Ya, itulah nampaknya yang terjadi.

Anas telah merencanakan akan menangkap angsa putih, ternyata angsa hitam memangsanya terlebih dahulu.

Anas bak Gamal Mubarak yang sudah dipersiapkan secara matang oleh Susan Mubarak untuk menggantikan Hosni Mubarak di puncak kekuasaan eksekutif Mesir, tapi dihadang angsa hitam bernama “Arab Spring.”

Lebih tak disangka lagi, keberuntungan Anas itu berpindah kepada Jokowi, bukan Prabowo, yang kala itu Jokowi hanya sebagai seorang Wali Kota Solo.

Pendeknya, tak ada yang benar-benar bisa menghitung siapa yang akan duduk sebagai presiden Indonesia mendatang.

Akan selalu ada kemungkinan “angsa hitam” muncul di tengah meriahnya kalkulasi-kalkulasi atas para “angsa putih” versi lembaga-lembaga survei.

Apakah Ganjar akan mewarisi keberuntungan Jokowi? Dilihat dari model proyektif perjalanan politiknya ke depan, memang Ganjar lebih mewarisi model perjalanan politik Jokowi dibanding yang lain.

Apakah Ganjar Pranowo akan menjadi angsa hitam di tahun 2024, mari kita tunggu sajalah.

Penulis Jannus TH Siahaan

Seorang Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM).  Pernah bekerja di industri pertambangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *