Kolom  

Penangkaran Satwa Liar, Solusi atau Eksploitasi Berkedok Konservasi?

Penangkaran Satwa Liar, Solusi atau Eksploitasi Berkedok Konservasi?
Penangkaran Satwa Liar, Solusi atau Eksploitasi Berkedok Konservasi?

DEJAVANEWS.COM – Perburuan satwa di alam merupakan hal yang lumrah dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya oleh manusia.

Hal tersebut telah dimulai sejak dahulu untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bertahan hidup. Manusia akhirnya memiliki insting untuk terus memburu dan mengambil satwa.

Seiring waktu, perburuan tidak lagi dengan tujuan menopang hidup dengan adanya kemampuan bercocok tanam dan beternak.

Namun, karena insting yang sudah mengakar, manusia tetap melakukannya sebagai tradisi dan kepercayaan, kesenangan atau hobi, hingga kebutuhan sekunder.

Perburuan satwa menyumbang dalam berkurangnya populasi satwa liar selain semakin sempitnya tempat tinggal satwa akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS (2021), total perburuan dan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar di Indonesia dari tahun 2015 sampai 2020 saja sudah berjumlah 301 kasus.

Itu baru selama lima tahun dan yang tercatat, bagaimana yang tidak ketahuan.

Apalagi ditambah hilangnya habitat satwa-satwa karena pembangunan dengan cara menggusur hutan, semakin menurunkan harapan untuk satwa liar lestari.

Konservasi menjadi pola pikir yang digadang-gadang dapat mencegah keterancaman jumlah satwa dari kepunahan. Konservasi secara etimologi berasal dari kata con (together) dan servare (to keep/save), artinya to keep/save what we have atau melindungi apa yang kita punya.

Baca Juga  Terimakasih Bu Mega, Terimakasih Warga Jawa Tengah

Konservasi merupakan alokasi pemanfaatan sumber daya alam antar generasi (sumber daya sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan banyak orang, tetapi tetap menyisakannya untuk masa yang akan datang).

Dalam konteks tumbuhan dan satwa liar, konservasi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu in-situ dan eks-situ.

Konservasi in-situ adalah perlindungan tumbuhan dan satwa di habitat aslinya, sedangkan eks-situ di luar habitat asli dengan menciptakan lingkungan seperti habitat aslinya. Salah satu kegiatan konservasi eks-situ yakni penangkaran.

Penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk pengembangbiakan satwa liar dengan tujuan meningkatkan populasi yang tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa bisa dipertahankan di habitat alaminya.

Tujuan dari penangkaran agar bisa mendapatkan spesimen dari tumbuhan dan satwa liar untuk dimanfaatkan sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi di alam serta mendapatkan kepastian administratif maupun fisik bahwa tumbuhan dan satwa liar yang dimanfaatkan dari penangkaran benar-benar berasal dari kegiatan penangkaran.

Sangat jelas definisi dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan penangkaran. Akan tetapi, benarkah penangkaran sebagai upaya konservasi eks-situ benar-benar digunakan untuk konservasi? Atau justru hanya media untuk eksploitasi semata? Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar memang tidak hanya mempertimbangkan fungsi ekologi, melainkan fungsi ekonominya.

Baca Juga  Bahaya Sampah Plastik dan Deforestasi Bagi Kehidupan

Fungsi ekologi terkait dengan keberlanjutan spesies satwa liar di alam, sedangkan manusia memanfaatkan sumber daya alam demi keuntungannya.

Keduanya sedapat mungkin beriringan karena tidak bisa dipisahkan, tetapi terkadang harus memilih apa yang didahulukan melihat dari urgensinya.

Penangkaran menjadi salah satu tombak pelestarian tumbuhan dan satwa liar, jika dilakukan dengan benar. Pengembangbiakan satwa dengan prinsip pemanfaatan lestari akan menjadi solusi untuk menekan laju perburuan satwa dari alam dan perdagangan ilegal.

Sayangnya, satu kasus terjadi pada tahun 2019 di Dusun Krajan Gambiran, Desa Curahkalong, Kecamatan Bangsalsari, Jember pada CV Bintang Terang yang menangkarkan jenis burung-burung yang dilindungi secara tidak legal. Penangkaran satwa burung juga diduga hanya kedok karena ternyata spesies-spesies tersebut diperdagangkan di pasar ilegal sampai ke luar negeri.

Sebenarnya, CV Bintang Terang mengantongi izin penangkaran burung sejak tahun 2005 yang habis masa operasionalnya pada tahun 2015. Namun, sang pemilik tetap nekat menjalankan usahanya.

Baca Juga  Baku Hantam Hipmi di Solo Menampar Wajah Jokowi

Penangkaran tidak lagi berpedoman konservasi yang nantinya satwa akan release kembali ke habitat alaminya untuk mempertahankan populasi, melainkan satwa hanya sebagai “barang” penghasil uang.

Padahal, penangkaran tumbuhan dan satwa liar didasarkan hukum yang kuat yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE).

Penangkaran sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.19/Menhut-II/2005 yang artinya untuk membuat penangkaran harus memenuhi syarat-syarat yang ada.

Kasus yang terjadi pada CV Bintang Terang menggambarkan kurangnya implementasi kebijakan sehingga seharusnya lebih ditegaskan terkait pengelolaan dan pengawasan terhadap penangkar.

Edukasi dan bimbingan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dapat ditingkatkan mengenai administrasi dan perizinan penangkaran, hakikat, hingga teknik penangkaran.

Dengan harapan agar program penangkaran berjalan dengan baik, membangkitkan dan mendorong masyarakat melakukan penangkaran sesuai kaidah konservasi secara konsisten akan bertahap mengurangi jumlah tangkapan satwa di alam dan menjaga keseimbangan ekosistem serta populasi satwa.

Dengan demikian, jangan sampai penangkaran sekadar jalan eksploitasi sembarangan yang dilegalkan.

*Nafa Putri Maharani,

Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *